
Oleh Joni MN
Ketua PKBKP INISNU Temanggung
Tidak bisa dinapikan lagi bahwa masyarakat Indonesia saat ini kebanyakan sudah mengambil suatu kebiasaan barat yang tidak sesuai dengan pola atau prinsip budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Mayoritas Masyarakat Indonesia sudah terpengaruh dengan kebiasaan yang kurang baik atau yang bertentangan dengan konsep adat dan budaya mereka, hal ini mereka adobsi dari media elektronik/ internet, kebiasaan yang bertentangan tersebut, seperti; life style atau gaya hidup yang serba lebih ke modern-modernan/ sok kebarat-baratan, euphoria, gaya berbicara sok kebarat-baratan, jenis makan/ jajanan yang ikut-ikutan (gengsi kalua membeli jajanan lokal) dan hal yang negatif lainnya. Perkembangan teknologi dan masuknya budaya luar membuat sebagian orang di Indonesia menyalah-gunakan alat tersebut untuk berbagai kemauan, yakni terserah kepada kehendak mereka sendiri tampa memikirkan dampak dan akibat buruknya ke depan.
Seharusnya ada baiknya bisa memilih dan memilah bagaimana budaya, teknologi dan lain sebagainya itu dapat memberi kontribusi yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Semakin tidak terkontrolnya penggunaan peralatan tekhnologi ini dan mudahnya menyerap kebiasaan-kebiasaan yang datangnya dari luar dan bertentangan dengan keberadaban kita di Indonesia yang bersumber dari barat mereka sangat merasa bangga apabila bisa mengikuti trans tersebut. Mereka merasa seolah-olah tidak hebat jika tidak berpenampilan/ berprilaku kebarat-baratan, inilah salah satu penyebab sakitnya kondisi pendidikan di Indonesia dan rusaknya moral para generasi kita saat ini. Kembalikan arientasi Pendidikan seperti sedia kala, tidak perlu muluk-muluk, jangan terlalu banyak konsef, tujuan pendidikan itu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memanusiakan manusia, untuk kesalamatan hidup di dunia dan akherat.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan pasti akan melihat dan menyadari bahwa pendidikan kita sampai saat ini sedang mengalami “demam tinggi” bak sedang di musim panca roba yang tidak terkontrol akhirnya “sakit”, analoginya; musim hujan tetapi hujan buatan yang mengandung zat asam. Dunia pendidikan yang sedang sakit demam ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia dan manusia mampu menciptakan kondisi nyaman dan damai, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak demikian dan malah berbanding terbalik. Seringkali kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada, sehingga proses tersebut hanya menimbulkan kegersangan dalam berinovasi dan berkreasi, hal ini terjadi karena;
Pertama, pendidikan di Indonesia masih memproduksi “manusia robot” atau menjadikan manusia seperti “kerbo cucuk”. Pendapat ini berangkat karena melihat fakta, yakni proses pendidikan saat ini yang diberikan ternyata berat sebelah atau tidak seimbang, lebih mempertajam aspek kognitif, ini pun hanya sekedar hafalan tidak mengarah kepada pemahaman, sedangkan aspek spiritual dan apektif terlepas dari fokus perhatian. Ditilik berdasarkan konsep dasar Pendidikan yang sebenarnya, Pendidikan saat ini ternyata sudah mengorbankan keutuhan dasar kemanusiaan itu sendiri, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif) atau lebih mengedepankan kecerdasan kognitif dibanding kecerdasan spiritual, akibatnya manusia-manusianya mudah diremot dan perbuatannya dengan perkataannya sering tidak sesuai (hypocrites). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi bahkan terjadinya dichotomy.
Kedua, sistem pendidikan yang masih berkiblat kepada prinsip Paula Freire (tokoh pendidik Amerika Latin), yakni pendidikan yang bergaya “bank” atau sistem “top down”. Prinsip ini telah menjadikan pendidikan sebagai tempat berdagang atau lebih banyak membangun bentuk komersil dari pada konsep pendidikan itu sendiri. Di sisi lain, sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan peserta didik karena peserta didik dianggap sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, pengajar (tidak menjadi pendidik) sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat “sarkatisme” yang merasa dirinya di posisi lebih berkuasa, merasa berada di atas, sehingga akibatnya para peserta didik berpikiran lebih baik diam dan mengikut saja daripada malu dan sakit hati.
Ketiga, model pendidikan yang diorientasikan hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia yang didik hanya untuk memenuhi dunia industri semata, sehingga konsep yang diterapkan di dalam kurikulum pun lebih banyak menerapkan konsep industri, yang anak didik tersebut dipersiapkan menjadi buruh, jongos atau pun budak dengan sebut yang lebih modern, yakni karyawan, pegawai dan lainnya. Seharusnya pendidikan dapat membangun nilai-nilai kemandirian, berpikir kritis, membimbing murid-muridnya menjadi seorang yang terampil dibangun nilai-nilai dan tidak ketergantungan pada yang lain (mandiri), siap bekerja sama, bermental saling menghargai satu sama lainnya. Namun, jauh panggang dari api, pendidikan saat ini lebih banyak menghasilkan orang-orang yang bermental burul atau jongos, pekerjaan tergantung pada perusahaan orang lain yang mengolah hasil bumi mereka sendiri dan menjadikan murid-muridnya menjadi ”kerbo cucuk”, kata Buya Hamka menjadi Pak Turut.
Hakikat Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan yaitu untuk menumbuhkan kembangkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan spiritual, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indra dan memanusiakan manusia bukan malah menyamakan definisi manusia dengan hewan seperti argument dari para pakar saat ini yang menyatakan bahwa “manusia adalah sebangsa hewan yang berakal” ini pernyataannya, tetapi jika si pakar tersebut dikatakan atau dipanggil hewan (binatang) ia malah marah dan tersinggung. Tujuan pendidikan yang termuat dalam undang-undang nomor 20 Tahun 2003 yang menerangkan bahwa pendidikan itu bertujuan untuk ”mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tetapi melihat faktanya saat ini hasil dari Pendidikan tersebut jauh dari maksud undang-undang tersebut, proses pendidikan itu tidak lagi membangun peserta didik yang cakap, kreatif, dan akhlak mulia.
Dapat dilihat dari prilaku anak-anak didik yang tidak sedikit menjadi bahan berita di media-media masa, seperti seorang anak menyiksa Ibunya, siswa berkelahi sampai menghilangkan nyawa temannya, anak-anak yang menantang gurunya berkelahi, tawuran, guru mencabuli muridnya (santrinya), dan lain-lainnya. Di bidang kreatif dan cakap, siswa saat ini lebih mengandalkan media internet dan AI (artificial Intelegent) atau kecerdasan buatan, media ini mengajari anak-anak kita ketergantungan, ketika mereka terlepas dari peran perangkat tersebut, mereka tidak dapat memberi keterangan atau menjawab persoalan, sampai maslah definisipun mereka sudah ketergantungan pada Internet (media Google dan AI).
Hal ini sangat tidak sesuai dengan hakikat manusia yang sebenarnya. Pendidikan harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, lebih-lebih aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (Secara perorangan maupun secara berkelompok) dan harus mampu membedakan yang mana manusia dan yang mana hewan secara kafah. Di sisi lain, sampai saat ini, isu pendidikan masih mendapat perhatian yang sangat besar dari masyarakat bukan karena kualitasnya tetapi karena ketidak-sesuaiannya hakikat dan fitrah yang diinginkan oleh manusianya.
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia, yakni sejak Nabi Adam dan Hawa turun ke dunia.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya sebagai manusia yang hakiki. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah “pedagogik” yaitu ilmu menuntun anak, orang Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Usaha dalam proses pendidikan murni usaha untuk memanusiakan manusia bukan sebalikya dan juga bukan “proyek”. Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk mengisi kebaikan di dalam hatinya, karena semuanya itu terletak pada hati manusianya, jika kotor hati maka kotorlah semuanya terutama pikiran, niat, asumsi/ anggapan, dan ide-ide manusia tersebut. hakikat nilai-nilai pendidikan yang sangat menentukan adalah kebaikan dan kebersiha hati.
Manusia Mahluk Berbudaya
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudayaan, hidup berbudaya dan lebur dalam budaya yang mereka yakini. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada diluar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, bahkan manusa itu baru menjadi manusia karena dan bersama kebudayaan. Kebudayaan memiliki fungsi positif bagi kemungkinan eksistensi manusia, namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia.
Hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistansi manusia di dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’detre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah sprangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia menjadi apa yang terwujud, “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik yang khas, “sesuatu yang olehnya” ia merupakan sebuah nilai yang unik, yang memiliki sesuatu martabat khsusus”(Luois Leahy, 1958). Jadi, pada dasarnya manusia sudah memiliki martabat dan modal dasar pengetahuan untuk dapat dikembangkan. Jadi, tugas dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada adalah menghidupkan dan membangun nilai-nilai unik yang terdapat pada diri masing-masing peserta didik, bukan malah menjadikan mereka sebagai Pak Turut dan melemahkan potensi kreatifitas dan kecakapan mereka dengan mengijinkan mereka menggunakan kecerdasan buatan (AI atau artificial inteligent), ini malah menjadikan mereka ketergantungan kepada perangkat buatan manusia, akhirnya mereka tak ubahnya hanya sebagai robot dan manusia yang kehilangan identitasnya sebagai manusia (hilang rasa), berbuat semaunya tidak bisa di larang, jika dilarang akan membrontak dan sebagainya.
Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan karakteristiknya masing-masing dan usaha sadar untuk membersihkan hati dari noda-noda yang hina atau bernazis agar mereka dapat hidup selamat dunia dan akherat. Pendidikan adalah masalah yang sangat penting bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, terutama pada zaman yang semakin canggih ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia semakin sempit, segala sudah menjadi serba mudah sehingga membuat manusia menjadi kurang berinteraksi dengan yang lain, dan menjadi malas (bekerja dan berpikir). Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa (masyarakat) terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi muda) bagi penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas bukan hanya proses yang berlangsung di dalam tempat yang formal saja. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Kebaikan dan kebersihan hati sangat menentukan peradaban dan hal ini dapat dibangun melalui proses yang dikerjakan pada dunia pendidikan. Peradaban erat kaitannya dengan kebudayaan, jadi jika kebudayaan telah ternodai oleh dunia luar maka perlahan-lahan generasi bangsa Indonesia yang mendapatkan informasi kabur dan mereka akan kehilangan jati diri mereka serta identitas. Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan cipta (akal) manusia menghasilkan ilmu pengetahuan yang berdasarkan atas terbebasnya hati dari nazis. Manusia sebagai mahluk beradab artinya pribadi manusia itu memiliki potensi untuk berlaku sopan, berakhlak, dan berbudi pekerti yang luhur. Sopan, berahlak, berbudi pekerti yang luhur menunjukan pada perilaku manusia dan menandakan bahwa manusia tersebut adalah manusia yang berpendidikan.
Selanjutnya seperti yang dikatan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia yang beradab adalah manusia yang mampu melaksanakan hakikatnya sebagai manusia, dan manusia yang selalu cakap dan kreatif, artinya tidak menjadikan dirinya sebagai pak turut. Kebalikanya adalah manusia yang biadab adalah manusia yang tidak berpendidikan dan tidak berbudaya, yaitu manusia yang menjadikan dirinya sebagai pak turut, walaupun bergelar banyak dan berkedudukan tinggi. Orang yang berpendidikan adalah orang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai mahluk sosial, kreatif, inovatif, dan saling menghargai sesama atau membangun sikap memanusiakan manusia, tidak hanya cerdasar di atas kertas dan cerdas secara kognitif semata, sementara spritual dan afektif diletakan dibawah telapak kaki.