Temanggung, stainutmg.ac.id – Pelajar Nahdlatul Ulama khususnya kader IPNU-IPPNU diharuskan melek, literat dan mampu mendeteksi mana media siber yang berfaham Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah dan mana yang tidak. Sebab, menjelang Pileg dan Pilpres 2019, banyak media siber bermunculan dan berkamuflase mengatasnamakan NU untuk memprovokasi dan memecah belah umat.
"Tidak bisa dimungkiri, saat ini sudah lazim mencari informasi di media siber. Namun saya kadang emosi karena yang rekan-rekan rujuk itu media siber yang menyebarkan provokasi, menyulut api bahkan radikalisme," beber Hamidulloh Ibda dosen STAINU Temanggung dalam seminar literasi media siber, Ahad siang (5/8/2018).
Kegiatan bertajuk "Peran Pelajar NU Zaman Now dalam Membangun Media Siber Aswaja Annahdliyah" ini digelar IPNU-IPPNU Desa Tawangsari, Kecamatan Tembarak, Temanggung yang menjadi rangkaian peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2018 ini.
Menurut Ibda, ada beberapa ciri media siber Aswaja Annahdliyah. Pertama, kontennya selalu menjunjung tinggi persatuan, perdamaian, dan membuat pembaca adem bukan menyulut api. Kedua, tidak ada berita, opini atau rubrik lain yang menghina apalagi bermisi mengganti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.
"Ketiga, konten media tersebut selalu mengomparasikan spirit Islam dan nasionalisme, kebangsaan, tradisi. Jika media itu membenturkan Islam dan Indonesia, mengharamkan hormat bendera merah putih, mengatakan taghut dan kufur pada Indonesia, maka jelas itu bukan ciri khas media NU," kata mantan Sekretaris IPNU dalam acara yang berlokasi di MI Maarif NU Nurul Ummah Tawangsari, Tembarak, Temanggung itu.
Keempat, media NU tidak pernah menggelorakan gerakan takfiri (mengafirkan), tabdi' (membidahkan), tasyri' (mensyirikkan), baik dari aspek fikrah (pemikiran), aqidah (keyakinan), amaliyah (tradisi) maupun harakah (gerakan).
Kelima, media siber atau cetak berfaham Aswaja Annahdliyah selalu memiliki prinsip moderat, toleran, tengah-tengah, tidak liberal dan sekuler, tidak pula kaku linier. "Jika ada media yang konsisten dengan tradisi NU, ia sudah bagian dari media siber NU. Tapi kita harus teliti, karena sekarang banyak media abal-abal berkamuflase seolah-olah NU," beber penulis buku 'Sing Penting NUlis Terus' tersebut.
Keenam, banyak sekarang yang mengaku Aswaja, meskipun namanya ada NU atau Aswaja, jangan mudah percaya. "Makanya deteksi dari segi konten sangat mudah untuk membedakan, mana media NU dengan yang palsu," tegas Pengurus Bidang Literasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jateng itu.
Kaprodi PGMI STAINU Temanggung ini mencontohkan, banyak media online didata oleh kader-kader NU. "Tapi minimal, baca dan rujuk NU Online, Bangkitmedia.com, DutaIslam.com, Tabayuna.com, Suaranahdliyin.com, Nujateng.com dan lainnya. Jangan sampai setelah acara ini rekan-rekan masih mengonsumsi berita Islam yang sumbernya tidak jelas," tegas dia.
Ia juga menyebut puluhan data media siber NU dan yang berkamuflase. Di sisi lain, ia membeberkan tidak hanya media siber. "Namun medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path dan layanan pesan seperti WhatsApp harus Anda deteksi juga. Jangan asal konsumsi nanti keseleg," tukasnya dalam acara yang dihadiri puluhan kader IPNU-IPPNU itu.
Ketua IPNU Tawangsari dalam acara seminar literasi media siber itu menambahkan, pihaknya mendukung gerakan literasi berbasis Aswaja Annahdliyah untuk menguatkan ideologi NU pelajar zaman now.
"Sangat bagus untuk kalangan pelajar khususnya pelajar NU dalam menghadapi peran sosmed dalam era milenial untuk menanggulangani berita-berita sosmed yang merusak ideologi NU," beber dia. (*)